KEDUDUKAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PERDATA
Oleh : Drs. Muntasir, M.H.P
PENDAHULUAN
Salah satu
tahapan yang harus dilalui dalam proses litigasi adalah upaya pembuktian. Menjadi
kewajiban para pihak berperkara dalam pembuktian adalah meyakinkan mejelis
hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan atau dalam
pengertian yang lain yaitu kemampuan para pihak memanfaatkan hukum pembuktian untuk
mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang
didalilkan (dibantahkan) dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Oleh karena
itulah menjadi suatu asas bahwa barang siapa yang mendalilkan sesuatu maka
harus membuktikannya [1]. Membuktikan artinya
mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan
alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.
Tugas hakim
didalam hukum acara perdata adalah menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang
menjadi dasar gugatan telah benar-benar ada atau tidak, adanya hubungan hukum
inilah yang harus terbukti apabila para pihak menginginkan kemenangan dalam
suatu perkara, apabila para pihak tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya
yang mendasar gugatan maka gugatannya akan dikalahkan dan apabila mampu
membuktikan gugatan maka gugatannya akan dimenangkan.
Hukum acara perdata mengenal beberapa macam alat
bukti dan hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, artinya hakim hanya
boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang. Alat-alat bukti dalam hukum acara perdata dikenal ada 5 (lima) macam, yaitu : (a) Bukti tulisan/Bukti dengan surat (b) Bukti Saksi (c) Persangkaan (d) Pengakuan (e) Sumpah.
Didalam perkembangannya seiring
dengan dinamika masyarakat, sehingga ketika masyarakat berubah atau berkembang
maka hukum harus berubah untuk menata semua perkembangan yang terjadi dengan
tertib di tengah pertumbuhan masyarakat modern[1] Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era teknologi informasi [2], dimana hubungan antara masyarakat dimana hubungan antara masyarakat dalam dimensi global tidak lagi dibatas oleh batas-batas teritorial negara (borderless). Hadirnya
internet dengan segala fasilitas dan program yang menyertainya, seperti e-mail,
chating video, video teleconference, situs website, facebook, dan
sebagainya, telah memungkinkan dilakukannya komunikasi global tanpa mengenal
batas Negara.
Globalisasi
informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi
dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan
Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan
Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke
seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebagai
respon terhadap perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian
pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai
bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan
hukum baru maka dibentuklah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kemudian telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.
UU ITE telah menegaskan bahwa Informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik begitu juga hasil cetak dari informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik telah diakui menjadi alat bukti hukum yang sah
dalam undang-undang tersebut [3], sebagai "perluasan" terhadap alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia.
Bertolak dari uraian sebagaimana dimuka maka
tulisan ini akan membahas mengenai : bagaimana pengaturan pemeriksaan alat bukti elektronik dalam peraturan perundang-undangan dan kedudukannya dalam hukum acara perdata? serta bagaimana praktik pemeriksaan alat bukti elektronik pada Peradilan Agama?. Tulisan ini akan diawali dengan pembahasan sistem pembuktian dalam hukum perdata, bukti elektronik dan kedudukannya dalam sistem pembuktian, praktik pemeriksaan alat bukti elektronik pada Peradilan Agama dan ditutup dengan simpulan.
[1]Pasal 163
HIR
[2]Pasal 164 HIR, 284 R.Bg dan Pasal 1866 KUH Perdata.
[3]Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Urgensi dan Pengaturan Celah Hukumnya, Jakarta, Raja Grafindo, 2012, hlm.ix
SELENGKAPNYA KLIK DISINI >>>